![]() |
Sumber : Penamotivasi.wordpress.com |
“Kita sebenarnya bisa belajar dari serangga.” Begitulah ujar
Sujono, lelaki berusia 43 tahun yang berprofesi sebagai seniman di Dusun Keron,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Beliau terlahir di dalam keluarga sederhana
yang tinggal di antara lereng Gunung Merapi – Gunung Merbabu. Terlahir di dalam
keluarga petani, namun beliau memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat
serangga. Ya, serangga yang biasanya menjadi Hama pengganggu bagi sebagian besar
petani, namun menjadi guru bagi dirinya.
Dalam melihat serangga, sebagian besar manusia hanya
melihatnya sebelah mata. Mereka tidak mampu melihat keindahan dan pola – pola perilakunya
yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Namun melalui
serangga, Sujono malah belajar unruk berkreasi. Beliau membagikan segala
keindahan, karakterisitik serta nilai – nilai yang ada dalam hidup serangga
melalui seni.
Dalam berkesenian, beliau membuat topeng – topeng wajah
serangga. Selain topeng wajah serangga, beliau juga membuat wayang dan tarian.
Dalam membuat tarian – tarian serangga, Sujono bekerja sama dengan beberapa
seniman tari di Nusantara. Dalam memainkan wayang ataupun menari tarian
serangga, Sujono dituntut untuk dapat menonjolkan dan menggambarkan setiap
karakteristik serangga yang diperankan secara spesifik. Hal itu bukanlah
menjadi halangan bagi Sujono, namun malah menjadi tantangan tersendiri baginya.
Dalam bereseni, Sujono ingin mengajak seluruh manusia
terutama masyarakat Indonesia untuk tetap mencintai alam. Bagi Sujono, mencintai
alam itu tidaklah sulit. Kita bisa memulainya dari hal kecil. Bagi petani, kita
bisa kembali melakukan pertanian organic untuk tetap bersahabat dengan alam.
Dewasa ini memang sebagian besar petani banyak menggunakan pertanian modern
yang banyak memakai zat kimia dan bibit yang sudah direkayasa genetic-nya.
Penggunaan zat kimia pada sistem pertanian tidak hanya membunuh serangga, tapi
juga merusak kualitas tanah dan serta mengganggu kesehatan manusia. Hal ini
terbukti dari kenyataan yang ada di lapangan. Warga desa yang seharusnya hidup
lebih alami dan lebih sedikit terkontaminasi polusi dibanding masyarakat kota,
namun malah memiliki tingkat kesehatan yang lebih buruk dari masyarakat kota.
Salah satu contohnya adalah masyarakat usia 50 – 60 tahun di Dusun Keron mayoritas
terserang penyakit stroke.
Sujono menambahkan, “Lewat pertanian organic orang belajar
sabar. Belajar memeahami segala sesuatu perlu proses. Sebaliknya, dengan
pertanian non - organik, orang hanya termotivasi melakukan sesuatu secara
instan, berupaya yang paling mudah dan cepat demi hasil panen dan keuntungan
sebanyak – banyaknya.
Kecintaan Sujono pada serangga sebagai objek seni-nya
berawal dari seekor capung yang tanpa sengaja mengacak – ngacak rambutnya.
Ketika itu, beliau yang sempat menganggur karena kejadian Bom Bali yang
menyebabkan tak adanya pesanan patung lagi, Akhirnya kembali bertani sambil
memahat patung di sela – sela kesibukanya. Nah, disaat memahat itu beliau
diganggu oleh capung tersebut. Ketika beliau menangkap capung terebut dan
menatapnya, beliau tiba – tiba tertarik terhadap keindahan dan perilakunya.
Dari sanalah beliau mulai mengumpulkan serangga untuk diamati dan dijadikanya
inspirasi dalam berseni. Akhirnya seni yang ditampilkan oleh Sujono tak hanya
menampilkan keindahan, namun juga mengandung pesan moral dari kehidupan
serangga. (Hernando)
Sumber : Kompas, Jumat, 11 April 2014, Hal 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar