Sabtu, 12 April 2014

Sujono " Belajar dari Serangga"


Sumber : Penamotivasi.wordpress.com
“Kita sebenarnya bisa belajar dari serangga.” Begitulah ujar Sujono, lelaki berusia 43 tahun yang berprofesi sebagai seniman di Dusun Keron, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Beliau terlahir di dalam keluarga sederhana yang tinggal di antara lereng Gunung Merapi – Gunung Merbabu. Terlahir di dalam keluarga petani, namun beliau memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat serangga. Ya, serangga yang biasanya menjadi Hama pengganggu bagi sebagian besar petani, namun menjadi guru bagi dirinya.
Dalam melihat serangga, sebagian besar manusia hanya melihatnya sebelah mata. Mereka tidak mampu melihat keindahan dan pola – pola perilakunya yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Namun melalui serangga, Sujono malah belajar unruk berkreasi. Beliau membagikan segala keindahan, karakterisitik serta nilai – nilai yang ada dalam hidup serangga melalui seni.
Dalam berkesenian, beliau membuat topeng – topeng wajah serangga. Selain topeng wajah serangga, beliau juga membuat wayang dan tarian. Dalam membuat tarian – tarian serangga, Sujono bekerja sama dengan beberapa seniman tari di Nusantara. Dalam memainkan wayang ataupun menari tarian serangga, Sujono dituntut untuk dapat menonjolkan dan menggambarkan setiap karakteristik serangga yang diperankan secara spesifik. Hal itu bukanlah menjadi halangan bagi Sujono, namun malah menjadi tantangan tersendiri baginya.
Dalam bereseni, Sujono ingin mengajak seluruh manusia terutama masyarakat Indonesia untuk tetap mencintai alam. Bagi Sujono, mencintai alam itu tidaklah sulit. Kita bisa memulainya dari hal kecil. Bagi petani, kita bisa kembali melakukan pertanian organic untuk tetap bersahabat dengan alam. Dewasa ini memang sebagian besar petani banyak menggunakan pertanian modern yang banyak memakai zat kimia dan bibit yang sudah direkayasa genetic-nya. Penggunaan zat kimia pada sistem pertanian tidak hanya membunuh serangga, tapi juga merusak kualitas tanah dan serta mengganggu kesehatan manusia. Hal ini terbukti dari kenyataan yang ada di lapangan. Warga desa yang seharusnya hidup lebih alami dan lebih sedikit terkontaminasi polusi dibanding masyarakat kota, namun malah memiliki tingkat kesehatan yang lebih buruk dari masyarakat kota. Salah satu contohnya adalah masyarakat usia 50 – 60 tahun di Dusun Keron mayoritas terserang penyakit stroke.
Sujono menambahkan, “Lewat pertanian organic orang belajar sabar. Belajar memeahami segala sesuatu perlu proses. Sebaliknya, dengan pertanian non - organik, orang hanya termotivasi melakukan sesuatu secara instan, berupaya yang paling mudah dan cepat demi hasil panen dan keuntungan sebanyak – banyaknya.
Kecintaan Sujono pada serangga sebagai objek seni-nya berawal dari seekor capung yang tanpa sengaja mengacak – ngacak rambutnya. Ketika itu, beliau yang sempat menganggur karena kejadian Bom Bali yang menyebabkan tak adanya pesanan patung lagi, Akhirnya kembali bertani sambil memahat patung di sela – sela kesibukanya. Nah, disaat memahat itu beliau diganggu oleh capung tersebut. Ketika beliau menangkap capung terebut dan menatapnya, beliau tiba – tiba tertarik terhadap keindahan dan perilakunya. Dari sanalah beliau mulai mengumpulkan serangga untuk diamati dan dijadikanya inspirasi dalam berseni. Akhirnya seni yang ditampilkan oleh Sujono tak hanya menampilkan keindahan, namun juga mengandung pesan moral dari kehidupan serangga. (Hernando)
Sumber : Kompas, Jumat, 11 April 2014, Hal 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar